Menuju Puskesmas Bintang Lima
by
Arifah Wulansari
- November 10, 2016
Beberapa waktu lalu sempat bersliweran di time line facebook saya, foto-foto dan video tentang puskesmas kebon jeruk Jakarta. Banyak netizen yang merasa takjub dan berdecak kagum dengan fasilitas sarana dan prasarana fisik yang ada di puskesmas serta gambaran proses pelayanan kesehatan yang terlihat sangat istimewa. Para netizen banyak yang memuji pelayanan di puskesmas tersebut, jika diberi rating mungkin puskesmas kebon jeruk bisa mendapatkan rating bintang lima dari para netizen.
Salah satu foto puskesmas Kebon Jeruk yang menimbulkan decak kagum netizen |
Puskesmas kebon jeruk jakarta memang tampak sangat jauh berbeda dengan gambaran puskesmas yang biasa dilihat oleh kebanyakan orang. Image puskesmas selama ini sepertinya masih lekat dengan pelayanan yang minimal, fasilitas yang kurang memadai hingga sikap petugas yang kurang bersahabat. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa memang masih ada puskesmas yang seperti itu. Saya sendiri juga pernah punya anggapan bahwa berkunjung ke puskesmas itu bukan pilihan saya, apabila sedang sakit lebih baik saya langsung pergi ke rumah sakit saja yang pelayanannya jauh lebih profesional dan terjamin.
Image puskesmas di masa lalu. Menunggu sampai siang belum juga dilayani |
Anggapan saya dulu juga pernah seperti itu, tapi sekarang sudah tidak lagi. Karena saya tahu bahwa saat ini trend yang dibangun oleh pemerintah ke depan adalah semua puskesmas harus bisa mendekati kondisi seperti di puskesmas Kebon Jeruk Jakarta yang sedang hangat diperbincangkan tersebut. Tak harus bangunan fisiknya sama, minimal sama dalam hal sistem pelayanan seperti mengutamakan kepuasan pasien, penerapan 5R (Ringkas, Rapi, Resik, Rawat, Rajin) dan lain sebagainya. Kini puskesmas memang dituntut untuk berubah total. Sejak diberlakukannya program BPJS pada tahun 2014 lalu maka puskesmas yang berfungsi sebagai fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) semakin dituntut untuk meningkatkan mutu pelayanan. Ini merupakan sebuah persyaratan wajib yang kemudian mendorong lahirnya aturan hukum bahwa setiap puskesmas wajib terakreditasi sebagai jaminan bahwa upaya peningkatan mutu dan keselamatan pasien telah dilaksanakan.
Pelaksanaan akreditasi di puskesmas ini mengacu pada permenkes no.71 tahun 2013 tentang pelayanan kesehatan pada JKN dan tertuang pada pasal 6 ayat 2 yaitu : selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) fasilitas kesehatan tingkat pertama juga harus telah terakreditasi. Puskesmas merupakan salah satu fasilitas kesehatan tingkat pertama selain klinik swasta dan praktek dokter keluarga. Sebagai faskes tingkat pertama milik pemerintah maka puskesmas memang didorong untuk segera melaksanakan akreditasi.
Sebagai contoh adalah puskesmas yang terdapat di wilayah DIY. Roadmap akreditasi di provinsi ini sudah disusun dari tahun 2015-2019 ditargetkan sebanyak 121 puskesmas bisa terakreditasi. Hingga saat ini sudah ada beberapa puskesmas yang lulus akreditasi bahkan ada puskesmas yang berhasil meraih strata akreditasi paripurna yaitu puskesmas Mantrijeron, yang ternyata merupakan puskesmas dengan strata akreditasi paripurna pertama di Indonesia.
Sebagai contoh adalah puskesmas yang terdapat di wilayah DIY. Roadmap akreditasi di provinsi ini sudah disusun dari tahun 2015-2019 ditargetkan sebanyak 121 puskesmas bisa terakreditasi. Hingga saat ini sudah ada beberapa puskesmas yang lulus akreditasi bahkan ada puskesmas yang berhasil meraih strata akreditasi paripurna yaitu puskesmas Mantrijeron, yang ternyata merupakan puskesmas dengan strata akreditasi paripurna pertama di Indonesia.
Lalu apa sih perbedaannya antara puskesmas yang sudah akreditasi dan yang belum? Menurut pengamatan saya perbedaannya tampak sangat signifikan. Proses akreditasi merupakan upaya perbaikan mutu pelayanan yang diselenggarakan secara total pada semua lini pelayanan. Baik pada sisi administrasi manajemen, upaya pelayanan kesehatan masyarakat termasuk upaya pelayanan klinis kepada pasien. Selama ini yang menjadi penyebab terjadinya masalah pada mutu pelayanan adalah karena adanya variasi proses dimana proses pelayanan yang dilakukan tidak diukur dengan baik, tidak dimonitor, tidak dikendalikan, tidak dipelihara, tidak disempurnakan dan tidak didokumentasikan dengan baik. Variasi proses inilah yang pada akhirnya menimbulkan banyak keluhan hingga kemungkinan terjadi resiko medical eror yang membahayakan keselamatan pasien.
Sebuah penelitian pernah dilakukan terkait dengan resiko medical eror yang terjadi di fasilitas pelayanan kesehatan di Amerika. Hasilnya cukup mencengangkan, ternyata jumlah kematian akibat medical eror menempati posisi tertinggi jika dibandingkan dengan kecelakaan pesawat, tenggelam, jatuh, dan kecelakaan kendaraan bermotor. Ini merupakan hasil penelitian di Amerika, lalu bagaimana dengan Indonesia?
Akreditasi yang diterapkan pada fasilitas kesehatan tingkat pertama bertujuan untuk meminimalisir terjadinya resiko medical eror yakni dengan cara ditetapkan standar-standar yang harus dipahami dan dipatuhi oleh seluruh petugas tanpa kecuali. Dalam pelaksanaan akreditasi puskesmas juga dikenal istilah client centered care. Disini keamanan dan kepuasan pasien menjadi titik berat dalam setiap proses mulai dari perencanaan, pelaksaanaan, monitoring dan evaluasi. Semua kegiatan perencanaan yang dilakukan di puskesmas harus berdasarkan pada analisis kebutuhan masyarakat. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan, termasuk monitoring dan evaluasinya juga harus menjamin keselamatan pasien dan ditekankan untuk selalu menjaga kerahasiaan pasien. Disini pasien/masyarakat benar-benar diposisikan sebagai raja.
Kini puskesmas memang dituntut untuk berbenah dan terus berproses menuju ke arah pelayanan yang lebih baik dan bermutu. Akreditasi yang dipersyaratkan diharapkan tak hanya berhenti pada persyaratan dokumen yang lengkap namun penerapan siklus PDCA harus dijalankan dengan benar.
Namun sayangnya, potret di lapangan masih ada yang menganggap bahwa Proses akreditasi hanyalah sebatas pada perkara lomba dokumen dan hanya berlangsung sesaat pada waktu penilaian. Padahal bukan itu esensinya, peningkatan mutu dan keselamatan pasien adalah output utama yang harus diwujudkan. Akreditasi puskesmas juga bukan hanya proses sekali jadi, namun wajib untuk dilaksanakan secara berkelanjutan. Hal ini sesuai dengan amanat Permenkes No.75 tahun 2014 tentang puskesmas disebutkan dalam pasal 39 ayat 1 bahwa dalam upaya peningkatan mutu pelayanan, puskesmas wajib diakreditasi secara berkala paling sedikit 3 (tiga) tahun sekali.
Lalu apa yang terjadi jika puskesmas tidak terakreditasi? Ibarat sebuah revolusi maka jika ada institusi faskes tingkat pertama yang tidak bisa mengikuti tuntunan perubahan maka ia akan tertinggal. Akreditasi merupakan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi oleh puskesmas untuk bisa melakukan Mou dengan BPJS. Perlu diketahui bahwa sistem kapitasi yang diterapkan oleh BPJS dapat memberikan keuntungan bagi faskes tingkat pertama yang bekerjasama. Besaran kapitasi yang diterima oleh puskesmas adalah antara Rp.3000,- s.d Rp. 6000,- per peserta. Nilainya memang bervariasi tergantung pada kriteria puskesmas.
Sebagai contoh apabila puskesmas X yang bisa memenuhi semua kriteria sehingga mendapatkan kapitasi sebesar Rp. 6000,-/ peserta, memiliki jumlah peserta BPJS sebanyak 10.000 orang misalnya maka besaran kapitasi yang diterima per bulan adalah Rp. 6000,- x 10.000 orang = Rp. 60.000.000,-. Jika ingin menghitung pendapatan kapitasi selama setahun, tinggal dikalikan 12 saja yaitu sebesar Rp.720.000.000,-. Dana kapitasi yang diperoleh ini digunakan untuk operasional puskesmas dalam rangka mendukung peningkatan mutu pelayanan kepada pasien. Jika pelayanan puskesmas X semakin baik, kemungkinan jumlah peserta yang memilih PPK I di puskesmas tersebut juga akan semakin bertambah banyak sehingga jumlah kapitasi yang diterima puskesmas juga akan meningkat. Sebaliknya jika pelayanannya buruk maka kemungkinan juga akan banyak peserta yang memilih untuk pindah faskes tingkat pertama ke tempat lain sehingga jumlah kapitasi yang diterima akan menurun.
Sebagai contoh apabila puskesmas X yang bisa memenuhi semua kriteria sehingga mendapatkan kapitasi sebesar Rp. 6000,-/ peserta, memiliki jumlah peserta BPJS sebanyak 10.000 orang misalnya maka besaran kapitasi yang diterima per bulan adalah Rp. 6000,- x 10.000 orang = Rp. 60.000.000,-. Jika ingin menghitung pendapatan kapitasi selama setahun, tinggal dikalikan 12 saja yaitu sebesar Rp.720.000.000,-. Dana kapitasi yang diperoleh ini digunakan untuk operasional puskesmas dalam rangka mendukung peningkatan mutu pelayanan kepada pasien. Jika pelayanan puskesmas X semakin baik, kemungkinan jumlah peserta yang memilih PPK I di puskesmas tersebut juga akan semakin bertambah banyak sehingga jumlah kapitasi yang diterima puskesmas juga akan meningkat. Sebaliknya jika pelayanannya buruk maka kemungkinan juga akan banyak peserta yang memilih untuk pindah faskes tingkat pertama ke tempat lain sehingga jumlah kapitasi yang diterima akan menurun.
Masyarakat saat ini juga sudah semakin cerdas dan bebas dalam memilih fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama. Jika ada puskesmas yang tidak mau berubah, maka bersiaplah untuk merugi. Apalagi jika puskesmas sudah menjalankan pola pengelolaan keuangan BLUD. Sejatinya akreditasi juga akan lebih memudahkan puskesmas dalam menjalankan pelayanan kesehatan karena sudah ada aturan hukum, pedoman, indikator, serta SOP yang jelas yang bisa dijadikan panduan dalam bekerja sehingga tenaga kesehatan juga akan lebih terlindungi dari resiko tuntutan malpraktik. Konsep akreditasi bertujuan untuk memberikan perlindungan keselamatan dan keamanan tak hanya ditujukan bagi penerima pelayanan, namun termasuk pemberi pelayanan.
Akreditasi yang kini menjadi tren di institusi faskes tingkat pertama merupakan tren yang sangat positif. Ini merupakan secercah harapan bagi peningkatan derajat kesehatan masyarakat asalkan benar-benar ditujukan untuk memperbaiki sistem pelayanan. Apabila sistem dapat berjalan dengan baik, bukan tidak mungkin jika suatu saat nanti di tahun 2019 dimana total coverage peserta BPJS sudah mencapai target 100 persen, maka seluruh masyarakat Indonesia akan dapat mengakses pelayanan fasilitas kesehatan yang bermutu tinggi secara gratis di puskesmas. Tak hanya memperoleh kesembuhan namun juga kenyamanan serta jaminan keamanan pelayanan.
Jangan biarkan kotak saran yang disediakan kososng tanpa isi karena kepedulian kita penting dalam untuk perbaikan pelayanan |
Sekali lagi penulis tekankan, bahwa hal ini bisa terwujud tentu dengan syarat bahwa proses akreditasi tidak hanya berhenti pada tataran dokumen saja namun sistem juga harus berjalan dengan benar. Disinilah kita sebagai masyarakat bisa ikut berperan serta dalam memastikan bahwa sistem yang dibangun benar-benar telah dijalankan dengan baik. Sehingga jika kita ingin puskesmas yang ada di wilayah tempat tinggal kita semakin maju jangan malas untuk berkunjung ke puskesmas. Jangan sungkan untuk berkomunikasi dengan pemerintah dengan cara aktif memberikan kritik, saran dan masukan melalui sarana yang disediakan oleh puskesmas seperti kotak saran, sms center, email dan lain sebagainya karena aspirasi kita merupakan salah satu hal utama yang akan dijadikan dasar dalam penyusunan perencanaan dan perbaikan pelayanan di puskesmas dalam rangka menuju puskesmas dengan rating bintang lima.
Sumber Referensi :
Sumber Referensi :
- Permenkes No. 71 Tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan pada JKN
- Permenkes No. 75 Tahun 2014 tentang Puskesmas