Gerakan Ekonomi Syariah : Gerakan membangun kemandirian dan kesejahteraan ekonomi bagi seluruh bangsa Indonesia
by
Arifah Wulansari
- December 05, 2013
Pak Budi ingin mengembangkan usahanya
dalam bidang ternak unggas. Lalu ia pergi ke bank untuk meminjam uang sebagai
modal usaha. Pinjaman dapat diperoleh dengan syarat ia harus mengembalikan
pokok pinjaman ditambah bunga 12% dari pinjaman per tahun. Suatu hari serangan
virus flu burung menyerang ternak unggasnya sehingga banyak unggasnya yang mati
dan akhirnya memaksa Pak Budi untuk memusnahkan sebagian besar unggas miliknya.
Keuntungan yang selama ini sudah diperhitungkannya terpaksa hilang begitu saja.
Tak hanya sampai disitu saja beban kerugian yang harus diderita oleh Pak Budi,
disisi lain ia masih harus membayar cicilan dan bunga yang telah disepakatinya
dengan pihak Bank. Jika tidak, tentu saja rumah dan tanah yang menjadi
agunannya akan disita oleh Bank. Bank tidak mau perduli kemana Pak Budi dan
keluarganya mau berteduh.
Sebuah ilustrasi diatas membuat kita
jadi bertanya kenapa Bank bisa berlaku sekejam itu?kira-kira apa sih
motivasinya hingga bank bisa berlaku tidak manusiawi? Jawabannya tentu saja semua
karena bunga, ini bukan sekedar bunga mawar atau bunga melati yang indah
bentuknya dan harumnya baunya itu lho..melainkan bunga bank yang merupakan
prosentase kelebihan dari pinjaman yang telah ditetapkan pada awal kesepakatan
proses pinjam meminjam uang di bank.
Dalam Islam bunga bank itu sama dengan
riba. Karena dalam bunga bank ada penambahan yang diambil tanpa adanya satu
transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan syariah. Perhitungan bunga
bank dilakukan tanpa memperhitungkan resiko yang berada diluar kekuasaan
manusia seperti musibah yang dialami Pak Budi dalam ilustrasi diatas, sehingga
hal inilah yang kemudian memunculkan ketidakadilan dan ketidakbenaran karena
belum tampak hasil dari sebuah usaha, apakah untung atau rugi tapi sudah ada
ketetapan penambahan uang bagi pihak kreditur. Praktek semacam ini sangat jelas
bisa dilihat di Bank Konvensional.
MUI sendiri sebenarnya sudah
mengeluarkan fatwa tentang haramnya bunga bank, namun hal ini masih terus saja
memunculkan masalah pro dan kontra di masyarakat. Hingga kemudian dimunculkan sebuah konsep
bagi-hasil yang disusun dalam rangka menyiapkan Bank Syariah agar dapat lebih melebarkan
perannya dalam meningkatkan produktivitas ekonomi demi kemaslahatan seluruh
umat baik di perkotaan maupun di pedesaan. Konsep bagi hasil ini menggambarkan
relasi antara pihak kreditur dan debitur yang seimbang. Adapun perbedaan antara
sistem bunga dan sistem bagi hasil menurut Muhammad Syafii Antonio adalah sebagai berikut :
Sistem
Bunga
- Penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untung
- Besarnya prosentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan
- Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi
- Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun jumlah keuntungan berlipat atau keadaan ekonomi sedang booming
- Eksistensi bunga diragukan oleh semua agama, termasuk islam
Sistem
Bagi-Hasil
- Penentuan besarnya rasio/nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan asumsi untung-rugi
- Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh
- Bagi-hasil bergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan. Bila usaha merugi, kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak
- Jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan
- Tidak ada yang meragukan keabsahan bagi-hasil.
Jika melihat perbandingan antara kedua
konsep tersebut, tentunya dengan jelas kita dapat menyimpulkan bahwa Bank
Syariah memang didirikan dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat sehingga dapat makin
mempersempit kesenjangan sosial-ekonomi
yang terasakan selama ini. Praktik Bank Syariah ini tidak berbeda dengan
bank-bank yang lain, yang membedakan hanya sistem usahanya yang didasarkan pada
tuntunan syariat islam.
Namun ternyata perkembangan Bank
Syariah di Indonesia masih tergolong lambat jika dibandingkan dengan negara lain.
Pangsa pasar perbankan syariah di Indonesia masih relatif kecil yaitu hanya
sekitar 5%. Sedangkan Bank umum malah lebih berkembang dan lebih diminati
masyarakat. Padahal Indonesia merupakan negara yang berpenduduk mayoritas
muslim, namun ironinya keberadaan Bank Syariah kesannya masih terpinggirkan.
Perlu diketahui bahwa ekonomi syariah
memiliki keunggulan lebih tahan terhadap krisis ekonomi dunia. Jika mengingat
krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1998 sebenarnya salah satu
penyebabnya juga karena kekejaman bunga bank. Ketidakmampuan kreditur dalam
melunasi hutang (karena terpuruknya ekonomi) membuat kredit macet terjadi di
banyak bank. Kondisi ini memaksa Indonesia untuk berutang pada IMF yang notabene
juga membungakan pinjamannya. Lebih apesnya lagi, proses pendistribusian
pinjaman dari IMF ini juga dipenuhi dengan berbagai tindak KKN yang telah
mengakar. Hingga akhirnya Indonesia kembali terjebak dalam bunga hutang yang
semakin menumpuk dan dampaknya menyengsarakan rakyat.
Kembali soal bunga bank yang sama
dengan riba, dalam Al-Qur’an sudah ditegaskan dalam Q.S 5:29 yang menyatakan : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan batil”. Dan pada Q.S 2:280
menyatakan :” Kamu berhak atas modalmu, kamu
tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya. Jika si peminjam dalam kesulitan maka
tangguhkanlah sampai dia mampu! Menyedekahkan lebih baik bagimu jika kamu
mengetahui”.
Jika merujuk pada ayat-ayat tersebut
maka sudah seharusnya jika negara Islam berada di garis terdepan dalam
perkembangan ekonomi syariah dunia. Tapi nyatanya sebuah berita yang saya baca
menuliskan bahwa tiga besar pusat ekonomi syariah dunia diduduki oleh Dubai,
Kuala Lumpur dan London! Lho..kenapa bisa Jakarta malah tidak masuk dalam 3
besar tersebut, sebaliknya London yang jelas bukan negara Islam bisa masuk
dalam 3 besar.
Hal ini mungkin karena ternyata
dikalangan Yahudi juga ada larangan tentang Riba. Menurut Muhammad Syafi’I Antonio dalam Perbankan Syariah,
Teori & Praktek, ternyata bukan hanya Islam saja yang melarang praktik riba
ini. Dikatakan bahwa larangan praktek pemungutan riba juga terdapat dalam kitab
suci Yahudi yaitu Old Testament dan UU Talmud. Kitab Exodus (keluaran) pasal 22
ayat 25 menyatakan :” Jika engkau
meminjamkan uang kepada salah seorang dari umatku, orang yang miskin
diantaramu, maka janganlah engkau berlaku sebagai penagih utang terhadap dia,
janganlah engkau membebankan bunga uang terhadapnya”. Hal ini semakin
menegaskan bahwa prinsip ekonomi syariah memang merupakan prinsip ekonomi yang
sangat ideal dan lebih menguntungkan bagi semua pihak. Ekonomi Syariah telah
memberikan sebuah pelajaran tentang etika dan moral bagi dunia perbankan.
Melihat masih rendahnya kemajuan
ekonomi syariah di Indonesia serta besarnya potensi yang dimiliki Indonesia
kemudian mendorong munculnya Gerakan Ekonomi Syariah (Gres!) yaitu sebuah
gerakan kampanye ekonomi syariah yang dilakukan secara lebih inovatif, masif
dan terintegrasi. Program ini dikoordinasi oleh Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah yang
merupakan organisasi yang didirikan oleh industri, asosiasi dan regulator
ekonomi syariah. Progam Gres! Ini dilaksanakan dengan melibatkan Industri
Keuangan Syariah, bisnis Islami, regulator, asosiasi, perguruan tinggi dan
stakeholder, dimana masing-masing lembaga dapat menyelenggarakan program
sendiri-sendiri yang diintegrasikan dalam rangkaian program Gres!.
Gerakan ini diharapkan mampu membuka
sejarah baru di Indonesia dalam rangka lebih memajukan perkembangan ekonomi
syariah sehingga kelak Indonesia bisa menjadi pusat keuangan syariah dunia.
Kondisi ini dapat tercapai jika masyarakat di seluruh penjuru nusantara turut
berperan aktif dalam pengembangan ekonomi syariah. Untuk itu diperlukan
sosialisasi dan edukasi ke masyarakat tentang masalah keuangan syariah serta
tentang bentuk aplikasi nyata dari berbagai konsep ekonomi syariah saat ini. Masih banyak penduduk
Indonesia yang belum memahami tentang konsep syariah ini dan belum mengetahui
bahwa investasi syariah ini jauh lebih menguntungkan dibanding investasi
konvensional. Jika pemahaman masyarakat semakin meningkat, bukan tidak mungkin
jika suatu saat nanti animo masyarakat untuk menabung dan berinvestasi di
lembaga-lembaga syariah juga akan meningkat pesat dan semakin banyak mendorong munculnya pengusaha-pengusaha seperti Pak Budi yang makin terbantu dengan prinsip ekonomi syariah sehingga pada akhirnya akan
mewujudkan kemandirian dan kesejahteraan ekonomi bagi seluruh rakyat Indonesia.