Sabtu Bersama Bapak
by
Arifah Wulansari
- September 26, 2016
Sabtu kemarin pas saya lagi jagong manten di sebuah resto bareng sama teman-teman kantor, tiba-tiba adek saya kirim pesan via whatsapp mengabarkan kalau bapak masuk UGD rumah sakit. Info dari adek katanya bapak kena stroke. Seketika itu juga saya langsung panik. Mendengar kata stroke pikiran negatif langsung berkecamuk di kepala saya. Saat panik, saya mencoba menenangkan diri. Seharusnya saya nggak perlu panik. Buat apa panik? Toh saya jarang bertemu bapak sejak bapak memutuskan untuk pergi meninggalkan saya dan mama, lalu menikah dengan wanita lain.
Sejak bapak memilih pergi bertahun lalu saya memang pernah marah,sedih, kecewa dan mendiamkan bapak cukup lama. Tapi kemudian saya sadar, sampai kapanpun nggak ada yang namanya mantan bapak atau mantan anak. Lalu saya mulai memaafkan bapak dan rutin mengunjunginya setahun sekali. Hanya setiap lebaran tiba. Untuk menjaga perasaan mama, saya memang jarang berkunjung karena saya tahu mama kurang suka. Meski begitu, sejujurnya dalam hati saya masih sering kangen bapak. Bagaimanapun beliau tetap orang tua saya. Lelaki yang jaman saya masih SD selalu ngantar jemput saya sekolah, Lelaki yang membiayai saya sekolah sampai lulus kuliah serta Lelaki yang menikahkan saya dengan suami saya saat ini. Dialah Bapak saya. Sebesar apapun kesalahannya tapi saya nggak pernah bisa membencinya.
Saat kangen bapak, dulu saya sering berharap agar sesekali bapak berkunjung ke rumah saya untuk sekedar nengok cucu. Sama seperti yang biasa mama lakukan yaitu mengunjungi cucu saat kangen. Jika bapak memang sibuk paling tidak bisa menelpon atau sms saat saya atau anak saya ulang tahun. Harapan saya cuma sesimple itu. But he never do that. Padahal bapak tahu rumah saya, bapak juga punya nomor hp saya. Entahlah, kadang saya sering merasa bapak tak lagi menyayangi saya. Saat hendak melahirkan anak pertama dan kedua saya juga selalu mengabari bapak untuk minta doa, tapi sampai anak saya lahir bapak juga nggak pernah datang untuk menengok kami.
Padahal bapak punya segalanya, rumah yang besar dan megah, mobil yang lebih dari satu, waktu yang longgar karena sudah pensiun tapi kenapa seolah nggak ada waktu untuk sekedar menengok cucunya? Padahal rumah bapak juga masih se-kabupaten dengan saya.
Terakhir saat lebaran kemarin saya masih mengunjungi bapak untuk sungkem. Tapi saya harus pulang dengan perasaan kecewa. Saat ngobrol dengan bapak, beliau terus saja memuji dan membanggakan anak orang lain. Sementara saya seperti tak dianggap sama sekali. Saya pulang dengan hati perih sambil curhat ke suami. Why..he never love me? Why..he never proud of me? Apa salah saya?
Dan sabtu kemarin saat saya dengar bapak stroke rasanya saya ingin segera lari ke RS bertemu bapak. Dan saya memang segera menemuinya. Saat bertemu bapak saya semakin cemas melihat kondisinya. Saya iba melihat bapak dengan selang terpasang di hidung, infus ditangan tampak sangat tak berdaya meringkuk di tempat tidur. Ketika saya datang, saya elus punggung bapak, "How are you dad?" But he's not fine.
Bapak tak bisa melihat saya, matanya terpejam, tak kuasa membuka mata karena merasa sangat pusing. Kata dokter ada penyumbatan di pembuluh otak bapak, mengenai syaraf yang berfungsi untuk reflek menelan. Berkali-kali bapak muntah-muntah. Kondisi bapak sangat payah dan saya hampir menangis melihatnya. "Maafkan Bapak" begitu ucapan bapak menyambut kedatangan saya. Sudahlah pak, saya sudah memaafkan bapak sejak lama. Jangan berpikir macam-macam, berpikirlah bahwa bapak pasti sembuh.
Sabtu, 24 September 2016